Selasa, 02 Juli 2013

Sejarah Islam: Aurangzeb Alamgir, Raja Kerajaan Islam Mughal di India


sejarah islam Di masa abad pertengahan, setidaknya ada dua kerajaan besar Islam yang menguasai sebagian besar wilayah dunia; Kerajaan Utsmani di Turki dan Kerajaan Mughal di India. Banyak data-data sejarah yang telah membahas tentang kerajaan Turki Utsmani yang begitu fenomenal, namun sangat sedikit tulisan-tulisan yang mengisahkan bagaimanakerajaan Mughal itu.



Mughal adalah kerjaan Islam di anak benua India, dengan Delhi sebagai ibu kotanya, beridiri antara tahun 1526 -1858 M. Kerajaan ini didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur. Di antara raja-raja Mughal yang membawa kerajaan ini mencapai masa keemasannya adalah Aurangzeb Alamgir yang memerintah 1658 – 1707 M. Dalam sejarah, ia terkesan sebagai sosok yang kontroversial, seorang raja yang agamis, namun di sisi lain sebagian sejarawan mengatakan kebijakan-kebijakannya sangat bertentangan dengan apa yang ia yakini; seperti intoleran, merusak tempat-tempat ibadah agama lain, dsb. Begitulah saat kita membaca sejarah, selalu ada kubu yang pro dan yang kontra.
Para sejarawan membaca rekam jejak pemerintahan Islam di India, maka perspektif mereka sangat membentuk opini mereka dalam menyajikan sejarah. Sebagian orang melihat seorang tokoh sejarah sebagai tokoh besar yang menginspirasi, namun sebagian yang lain bisa jadi malah menganggap tokoh yang sama sebagai seorang tiran.
Orang-orang Hindu dan Sikh menganggap Aurangzeb sebagai sosok seorang raja yang kejam dan bengis, mengekang kebebasan, dan intoleran. Sebaliknya, orang-orang Islam menganggapnya sebagai profil pemimpin yang agamis dan adil. Pembahasan kali ini akan menyibak retorika tersebut, mendudukkan dan memberikan penjelasan tentang Aurangzeb sebagai seorang raja muslim yang memerintah sebuah negeri yang mayoritas masyarakatnya adalah orang-orang Hindu.
Latar Belakang Aurangzeb
Untuk mengetahui seperti apa Aurangzeb, penting bagi para pembaca untuk mengetahui secara utuh masa pemerintahan Aurangzeb selama 49 tahun. Kerajaan Mughal menguasai India sejak masa kepemimpinan Babur pada tahun 1526 M. 150 tahun kemudian, Aurangzeb menduduki puncak tahta, sebagai raja kerajaan Mughal. Saat itu, Mughal mencapai puncak kejayaannya. KerAjaan ini menguasai anak benua India dan kerajaan terkaya di dunia kala itu.







 

Sebenarnya, kejayaan kerajaan telah dirintis pendahulunya semenjak pemerintahan Raja Akbar, Jehangir, dan Syah Jehan. Shah Jahan adalah ayah dari Aurangzeb, ialah yang membangun Taj Mahal di Agra. Ayahnya memilihkan guru-guru terbaik untuk mendidiknya sejak kecil. Di usia kanak-kanak, Aurangzeb mendalami Alquran, hadis, dan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya. Ia memiliki semangat yang luar biasa dalam membaca, kemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki-nya pun luar biasa. Aurangzeb juga dilatih agar pandai dalam menulis kaligrafi, beberapa karya kaligrafinya masih bisa temui saat ini.
Mendakwahkan Islam
Salah satu cita-cita luhur yang diidamkan Aurangzeb adalah melandasi pemerintahan kerajaan Mughal dengan ajaran Islam yang murni. Raja-raja sebelumnya, walaupun mereka muslim, tidak menerapkan syariat Islam secara kafah dalam pemerintahan mereka. Contohnya adalah sang kakek, Raja Akbar, dalam kehidupan dan pemerintahannya, sang kakek sering kali menentang prinsip ajaran Islam dengan mengadopsi tata nilai; akidah dan amalan yang bukan berasal dari Islam. Cita-cita Aurangzeb ini diilhami oleh pendidikan dan keyakinannya yang kuat akan ajaran Islam.
Aurangzeb menjadi raja Mughal sebelum ayahnya mangkat. Meskipun ia sangat menghormati ayahnya, namun Aurangzeb cukup vokal menentang kebijakan-kebijakan ayahnya, seperti gaya hidup yang boros dan berlebih-lebihan. Di antara kebijakan sang ayah yang ia kritik adalah pembangunan Taj Mahal, sebuah makam yang dibangun oleh ayahnya untuk mendiang ibunya, Mumtaz Mahal. Menurut Aurangzeb, pembangunan makam tersebut bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang melarang meninggikan bangunan di atas makam, dan tentu saja hiasan dan ornamen-ornamen Taj Mahal pasti membutuhkan biaya yang besar. Ia menyatakan, “Meninggikan bangunan di atas makam adalah sesuatu yang ilegal, dan tidak diragukan lagi hal itu merupakan pemborosan (sesuatu yang mubadzir).” Ia juga lantang menyerukan larangan mengagungkan kuburan-kuburan tokoh-tokoh agama karena yang demikian menurutnya adalah praktik pengkultusan terhadap penghuni kubur dan sangat jauh dari tuntunan syariat Islam.
Untuk mewujudkan penerapan syariat Islam dalam pemerintahannya, Aurangzeb berupaya mengumpulkan jurnal-jurnal fikih menjadi sebuah buku yang sistematis sehingga mudah untuk dijadikan acuan. Ia juga memfasilitasi ratusan cendekiawan muslim dari berbagai penjuru negeri untuk memformulasikan fikih Islam. Hasilnya adalah sebuah buku fenomenal dalam fikih Hanafi yang berjudul Fatawa al-Amgiri atau juga dikenal dengan Fatawa al-Hindiya yang merupakan ikhtisar dari fikih Madzhab Hanafi.


Buku ini kemudian disebarkan ke penjuru wilayah Mughal agar dijadikan panduan hukum dan memberantas penyakit-penyakit sosial, seperti: mabuk-mabukan, perjudian, dan prostitusi yang memang berusaha dihabisi oleh kerajaan. Pungutan pajak yang tidak sesuai syariat juga ia hapuskan, padahal tata perpajakan ini sudah sejak dulu dipratikkan oleh kerajaan Mughal.
Untuk mem-back up pendapatan besar yang sebelumnya diperoleh dari pajak, Aurangzeb mengurangi gaya hidup mewah yang dipratikkan para raja sebelumnya. Ia tidak tinggal di istana mewah seperti yang dilakukan oleh ayahnya, tradisi-tradisi kerajaan yang dianggap menghambur-hamburkan uang dihapuskan; seperti pentas musik dan perayaan ulang tahun raja.


Sikap Aurangzeb Terhadap Masyarakat Hindu dan Sikh



Telah kita ketahui prestasi-prestasi dan sosok Aurangzeb yang begitu religius, namun ada beberapa sejarawan dan akademisi berpendapat bahwa Aurangzeb hanyalah seorang raja yang mewarisi kekerasan dan intoleran. Ia juga disebut sebagai penghancur kuil dan raja yang selalu berusaha mengeliminasi orang-orang non-muslim dari wilayah kekuasaannya. Benarkah demikian?
Sikap Aurangzeb terhadap orang-orang Hindu dan Shikh bukanlah sikap diskriminatif seperti yang dituduhkan sebagian sejarawan. Puluhan orang-orang Hindu ia angkat jadi pegawainya di istana, kantor, dan penasihatnya bahkan Aurangzeb adalah raja yang paling toleran dalam perjalanan kerajaan Mughal. Terbukti dengan orang-orang Hindu dan Shikh ambil bagian dalam jajaran pemerintahan dan militernya, tentu saja ini menunjukkan bahwa Aurangzeb bukanlah seorang yang kaku dalam keagamaan dan serta merta menolak kontribusi non-muslim.
764px Asif tomb 564x442 Sejarah Islam: Aurangzeb Alamgir, Raja Kerajaan Islam Mughal di India

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih sudah mengunjungi Blog ini
copy paste atau copas boleh tapi harus dicantumkan blog ini...
Bila comment harus pakai bahasa yang sopan dan ramah bila tidak akan dispam..